Oleh: Teuku Muttaqin Mansur
(Anak
salah seorang korban tsunami 26 Desember 2004)
Ayah
saya, Teuku Haji Mansur bin Muda Gade, lahir tahun 1938, pernah mengecap pedidikan
Sarjana Muda (BA) di Medan. Sekembalinya, ia menjadi aktivis Pelajar Islam
Indonesia (PII) bersama beberapa koleganya. Saya mendengar ada sahabatnya
(tidak menyebut namanya) bercerita, dulu ayah saya pernah sangat berapi-api di
podium di sekitaran Kota Sigli menentang pendirian PHR disana yang dianggap
berpotensi melanggar syariat Islam.
Sekira
tahun 2002 saya bertemu Pak Adli (Dr. M. Adli Abdullah) di Kantor Panglima Laot
Aceh di Lamnyong, Banda Aceh. Ayah membawa saya ke sana. Saat itu, kebetulan
abang saya (Teuku Mukhlis) bekerja pada perusahaan rental Pak Adli. Pak Adli
tau bahwa ayah saya adalah aktivis PII dan sering menjadi instruktuk PII jika
dilaksanakan training. Ta kalon kalon si
Pon lon, tolong dilihat-lihat anak saya, si Pon) (panggilan ayah untuk
saya) pintanya pada Pak Adli. Pak Adli mengiyakan.
Beberapa
kali, saya menyaksikan ada tamu yang datang ke rumah di Meunasah Mulieng Kemukiman
Beuracan Kecamatan Meureudu yang kini masuk dalam wilayah Kabupaten Pidie Jaya
(sebelum tahun 2007 masih masih dalam Kabupaten Pidie) mengajukan proposal
pelaksanaan training PII kepada ayah. Dan juga memintanya menjadi instruktur.
Kamis
23 Desember 2004 ayah ke Banda Aceh untuk berobat, di usia yang tak muda lagi,
ayah mulai sering batuk batuk. Adik saya (Teuku Multazam) kala itu baru masuk
kuliah di Banda Aceh. Adik juga mengecap pendidikan SMA di Banda Aceh. Adik
pindah sekolah ke Banda Aceh karena di kampung kala itu anak-anak seusianya
banyak putus sekolah karena naik ke gunung. Adik saya sudah mulai memegang
radio juga. Konflik, kontak tembak yang kerap terjadi dikampung juga menjadi
alasannya dipindahkan. Beruntung, ada sekolah yang menerimanya setelah
sebelumnya ada sekolah katanya tidak ada lagi tempat.
25
Desember 2004 sore, saya mengunjungi ayah yang menginap di rumah abang di
komplek Korea Krueng Cut, berhampiran dengan Kantor Harian Serambi Indonesia
lama. Hingga menjelang tengah malam saya masih di sana. Saya pamit ke ayah, Multazam
dan abang untuk tidak menginap di komplek Korea malam itu.
Adik
saya, pagi 26 Desember sekira pukul 07.00 pagi diminta ayah pergi mencari pisau
cukur. Ia berencana mau membeli di Darussalam. Ia mengendarai vespa excel adik.
Namun sesampainya di Simpang Mesra, ia melihat 1 mobil ambulan berlari dengan kencang
menuju arah kota. Karena penasaran, ia lalu mengikuti mobil tersebut menuju ke
arah pusat kota Banda Aceh.
Ambulan
berlari kencang dan membuatnya tidak sanggup mengikuti sampai ke tujuan.
Lalu, ia berbalik arah menuju ke Asrama
Mahasiswa Pidie. Sekira lima menit kemudian, informasi air laut disampaikan
teman-teman yang baru pulang melihat reruntuhan Swalayan Pante Pirak akibat
gempa. Beberapa menit kemudian tsunami pun datang.
Pagi
itu, saya bersama Juliadi (teman) dengan mengendarai honda astrea star merah
berada di daerah Lampaseh Kota, dekat radio CBS, tidak jauh dari kali kecil
Lampaseh. Seseorang sambil berlari cepat dari arah depan, tak berbaju dan berkaki telanjang berteriak keras. Air laut
naik, air laut naik, berkali kali teriakannya tak ada yang peduli. Kami mencoba
mendekat ke kali yang tak begitu jauh dari posisi kami.
Betul
saja, air mengalir deras masuk kali kecil itu, sesaat kemudian penuh. Cepat-cepat
kami berbalik arah ke kota, kemudian menyusuri Blang Padang, Simpang Jam, terus bergerak ke arah Lueng Bata. Mulai banyak
orang-orang berlari kesana kemari tanpa arah, ada yang jatuh terinjak tak ada yang
peduli.
Pemandangan
yang unik kami temukan saat melewati Blang Pandang, nun jauh disana tampak
terlihat gelombang besar hitam terus mendekat, namun orang-orang yang sedang
olahraga di Blang Padang seolah tak tau bahaya sudah mendekat.
Saya,
dan orang-orang terus lari hingga jelang sore sampai dikampung. Semuanya masih
bertanya bagaimana nasib ayah. Saya jumpai mamak dan keluarga lain, saya
katakan. Ayah Mak, DekMul, BangBit, KakMidah (Istri Abang). Pakon ayah (kenapa ayah), tanya mamak. Hana Mak (tidak Mak), ayah di Banda
Aceh, hana sapeu (tidak ada apa-apa)
Saya
bersama Juliadi kemudian memutuskan kembali ke Banda Aceh malam itu juga, kami
cari info kiri kanan tentang keberadaan ayah dan keluarga, yang dapat
dipastikan terbawa tsunami. Rumah abng saya, berada hanya 1 KM dari pantai.
Esoknya,
alhamdulillah saya bertemu adik, yang awalnya saya pikir juga ikut terbawa.
Senin 27 Desember kami terus mencari dan menanyakan keberadaan ayah dan abang.
Saya dapat kabar gembira bahw abang dan kakak ipar saya selamat meskipun
luka-luka akibat digulung tsunami. Mereka di bawa Kak Nong (Istri Bang Adli) ke
Tanoh Abee. Dan berobat di Puskesmas berdekatan.
Di
sini, saya dan Adik fokus mencari ayah. Dari info yang kami terima dari
beberapa orang yang selamat dan relawan PMI, bahwa orang-orang yang disekitar
komplek korea banyak ditemukan dekat dengan Asrama Mahasiswa (Askopma)
Darussalam. Pencarianpun kami lakukan sekitar itu. Dari tumpukan sampah ke
tumpukan sampah, dari melewati mayat yang satu ke yang lain, mayat berserakan
sangat banyak jumlahnya
Seperti
ada gerakan dan bisikan, saya naik ke sebuah tumpukan kayu. Nah di situ, alhamdulillah,
saya temukan ayah. Wajahnya masih bersih berseri, masih sama dengan ketika
terakhir Sabtu itu kami berpisah. Dalam posisi telungkup, berbaju singlet putih
dan bercelana panjang.
Sedih
dan juga senang, menangis dan juga terharu. Senang dan terharu karena, tak
mudah menemukan dan mengenali kembali mereka yang terkena tsunami, apalagi sudah
seharian.
Ayah
adalah orang yang dengan sabar dan tegas menempa kami. Engkau pejuang dan
sekaligus panutan bagi kami.
Sudah
15 tahun yang lalu ayah meninggalkan
kami, saya haqqul yakin bahwa ayah dan
korban lainnya adalah orang-orang syahid dengan jalan tsunami.
Terakhir,
sebelum meninggal dunia, ayah adalah Sekretaris Majelis Permusyawaratan Ulama
(MPU) dan Majelis Adat Aceh (MAA) Kabupaten Pidie.
Kami
rindu ayah. Kami sayang ayah. Wajah Ayah selalu terbayang dalam kehidupan
ananda ini. Husnul khatima ayah, semoga kami dapat menyusul mu ke sana dalam
husnul khatimah juga.
TESTIMONI:
Ghazali Puteh
dari Bambi Connection, 26 Desember 2019
Saya
kenal almarhum. Waktu Perkampungan Kerja Pelajar (PKP) PII di Bambi th 1965, Saya saat itu
masih SMP, memang beliau adalah orator yang cukup bersemangat melawan aliran
PKI waktu itu. Allahummagfirlahu warhamhu waafihi wakfuanhu. Aamiin
Dr. M. Adli
Abdullah, Aktifis PII Aceh, 26 Desember 2019
Saya
mengenal Teuku Haji Mansur sejak saya aktif di PII pada tahun 1980an, sebagai
keluarga besar PII, sehingga sering
ketemu dirumah pak Malik Raden sebagai ketua KB PII Aceh saat itu Sekira tahun
2000 atau 2002, beliau menitip anaknya Teuku
Muttaqin yang beliau sebut "dek pon" pada saya. Saat itu Teuku
Muttaqin masih sebagai aktifis LBH B
Banda Aceh. Dek Pon anak yang cerdas, tahun 2002 melanjutkan S2 di Fakultas
Hukum Unsyiah. Kemudian Dek Pon saya ajak memperkuat advokasi Lembaga Panglima
Laot Aceh, sejak setelah 26 Desember 2004. Ayahanda Teuku Haji Mansur ikut menjadi syuhada tsunami, ya Allah
tempati beliau dalam surga jannatun naimmu
ya Allah, amin.
0 komentar:
Post a Comment