Sunday 29 December 2019

Mengenang 15 Tahun Tsunami; Wajah Ayah Selalu Membayang




Oleh:  Teuku Muttaqin Mansur
(Anak salah seorang korban tsunami 26 Desember 2004)

Ayah saya, Teuku Haji Mansur bin Muda Gade, lahir tahun 1938, pernah mengecap pedidikan Sarjana Muda (BA) di Medan. Sekembalinya, ia menjadi aktivis Pelajar Islam Indonesia (PII) bersama beberapa koleganya. Saya mendengar ada sahabatnya (tidak menyebut namanya) bercerita, dulu ayah saya pernah sangat berapi-api di podium di sekitaran Kota Sigli menentang pendirian PHR disana yang dianggap berpotensi melanggar syariat Islam.


Sekira tahun 2002 saya bertemu Pak Adli (Dr. M. Adli Abdullah) di Kantor Panglima Laot Aceh di Lamnyong, Banda Aceh. Ayah membawa saya ke sana. Saat itu, kebetulan abang saya (Teuku Mukhlis) bekerja pada perusahaan rental Pak Adli. Pak Adli tau bahwa ayah saya adalah aktivis PII dan sering menjadi instruktuk PII jika dilaksanakan training. Ta kalon kalon si Pon lon, tolong dilihat-lihat anak saya, si Pon) (panggilan ayah untuk saya) pintanya pada Pak Adli. Pak Adli mengiyakan.

Beberapa kali, saya menyaksikan ada tamu yang datang ke rumah di Meunasah Mulieng Kemukiman Beuracan Kecamatan Meureudu yang kini masuk dalam wilayah Kabupaten Pidie Jaya (sebelum tahun 2007 masih masih dalam Kabupaten Pidie) mengajukan proposal pelaksanaan training PII kepada ayah. Dan juga memintanya menjadi instruktur.

Kamis 23 Desember 2004 ayah ke Banda Aceh untuk berobat, di usia yang tak muda lagi, ayah mulai sering batuk batuk. Adik saya (Teuku Multazam) kala itu baru masuk kuliah di Banda Aceh. Adik juga mengecap pendidikan SMA di Banda Aceh. Adik pindah sekolah ke Banda Aceh karena di kampung kala itu anak-anak seusianya banyak putus sekolah karena naik ke gunung. Adik saya sudah mulai memegang radio juga. Konflik, kontak tembak yang kerap terjadi dikampung juga menjadi alasannya dipindahkan. Beruntung, ada sekolah yang menerimanya setelah sebelumnya ada sekolah katanya tidak ada lagi tempat.

25 Desember 2004 sore, saya mengunjungi ayah yang menginap di rumah abang di komplek Korea Krueng Cut, berhampiran dengan Kantor Harian Serambi Indonesia lama. Hingga menjelang tengah malam saya masih di sana. Saya pamit ke ayah, Multazam dan abang untuk tidak menginap di komplek Korea malam itu.

Adik saya, pagi 26 Desember sekira pukul 07.00 pagi diminta ayah pergi mencari pisau cukur. Ia berencana mau membeli di Darussalam. Ia mengendarai vespa excel adik. Namun sesampainya di Simpang Mesra, ia melihat 1 mobil ambulan berlari dengan kencang menuju arah kota. Karena penasaran, ia lalu mengikuti mobil tersebut menuju ke arah pusat kota Banda Aceh.

Ambulan berlari kencang dan membuatnya tidak sanggup mengikuti sampai ke tujuan. Lalu,  ia berbalik arah menuju ke Asrama Mahasiswa Pidie. Sekira lima menit kemudian, informasi air laut disampaikan teman-teman yang baru pulang melihat reruntuhan Swalayan Pante Pirak akibat gempa. Beberapa menit kemudian tsunami pun datang.
Pagi itu, saya bersama Juliadi (teman) dengan mengendarai honda astrea star merah berada di daerah Lampaseh Kota, dekat radio CBS, tidak jauh dari kali kecil Lampaseh. Seseorang sambil berlari cepat dari arah depan,  tak berbaju dan  berkaki telanjang berteriak keras. Air laut naik, air laut naik, berkali kali teriakannya tak ada yang peduli. Kami mencoba mendekat ke kali yang tak begitu jauh dari posisi kami.

Betul saja, air mengalir deras masuk kali kecil itu, sesaat kemudian penuh. Cepat-cepat kami berbalik arah ke kota, kemudian menyusuri Blang Padang, Simpang Jam,  terus bergerak ke arah Lueng Bata. Mulai banyak orang-orang berlari kesana kemari tanpa arah, ada yang jatuh terinjak tak ada yang peduli.

Pemandangan yang unik kami temukan saat melewati Blang Pandang, nun jauh disana tampak terlihat gelombang besar hitam terus mendekat, namun orang-orang yang sedang olahraga di Blang Padang seolah tak tau bahaya sudah mendekat.

Saya, dan orang-orang terus lari hingga jelang sore sampai dikampung. Semuanya masih bertanya bagaimana nasib ayah. Saya jumpai mamak dan keluarga lain, saya katakan. Ayah Mak, DekMul, BangBit, KakMidah (Istri Abang). Pakon ayah (kenapa ayah), tanya mamak. Hana Mak (tidak Mak), ayah di Banda Aceh, hana sapeu (tidak ada apa-apa)

Saya bersama Juliadi kemudian memutuskan kembali ke Banda Aceh malam itu juga, kami cari info kiri kanan tentang keberadaan ayah dan keluarga, yang dapat dipastikan terbawa tsunami. Rumah abng saya, berada hanya 1 KM dari pantai.

Esoknya, alhamdulillah saya bertemu adik, yang awalnya saya pikir juga ikut terbawa. Senin 27 Desember kami terus mencari dan menanyakan keberadaan ayah dan abang. Saya dapat kabar gembira bahw abang dan kakak ipar saya selamat meskipun luka-luka akibat digulung tsunami. Mereka di bawa Kak Nong (Istri Bang Adli) ke Tanoh Abee. Dan berobat di Puskesmas berdekatan.

Di sini, saya dan Adik fokus mencari ayah. Dari info yang kami terima dari beberapa orang yang selamat dan relawan PMI, bahwa orang-orang yang disekitar komplek korea banyak ditemukan dekat dengan Asrama Mahasiswa (Askopma) Darussalam. Pencarianpun kami lakukan sekitar itu. Dari tumpukan sampah ke tumpukan sampah, dari melewati mayat yang satu ke yang lain, mayat berserakan sangat banyak jumlahnya

Seperti ada gerakan dan bisikan, saya naik ke sebuah tumpukan kayu. Nah di situ, alhamdulillah, saya temukan ayah. Wajahnya masih bersih berseri, masih sama dengan ketika terakhir Sabtu itu kami berpisah. Dalam posisi telungkup, berbaju singlet putih dan bercelana panjang.

Sedih dan juga senang, menangis dan juga terharu. Senang dan terharu karena, tak mudah menemukan dan mengenali kembali mereka yang terkena tsunami, apalagi sudah seharian.

Ayah adalah orang yang dengan sabar dan tegas menempa kami. Engkau pejuang dan sekaligus  panutan bagi kami.

Sudah 15 tahun yang lalu ayah  meninggalkan kami, saya haqqul yakin  bahwa ayah dan korban lainnya adalah orang-orang syahid dengan jalan tsunami.

Terakhir, sebelum meninggal dunia, ayah adalah Sekretaris Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) dan Majelis Adat Aceh (MAA) Kabupaten Pidie.

Kami rindu ayah. Kami sayang ayah. Wajah Ayah selalu terbayang dalam kehidupan ananda ini. Husnul khatima ayah, semoga kami dapat menyusul mu ke sana dalam husnul khatimah juga.


TESTIMONI:

Ghazali Puteh dari Bambi Connection, 26 Desember 2019
Saya kenal almarhum. Waktu Perkampungan Kerja Pelajar  (PKP) PII di Bambi th 1965, Saya saat itu masih SMP, memang beliau adalah orator yang cukup bersemangat melawan aliran PKI waktu itu. Allahummagfirlahu warhamhu waafihi wakfuanhu. Aamiin


Dr. M. Adli Abdullah, Aktifis PII Aceh, 26 Desember 2019

Saya mengenal Teuku Haji Mansur sejak saya aktif di PII pada tahun 1980an, sebagai keluarga besar PII,  sehingga sering ketemu dirumah pak Malik Raden sebagai ketua KB PII Aceh saat itu Sekira tahun 2000 atau 2002, beliau menitip anaknya Teuku  Muttaqin yang beliau sebut "dek pon" pada saya. Saat itu Teuku Muttaqin masih sebagai  aktifis LBH B Banda Aceh. Dek Pon anak yang cerdas, tahun 2002 melanjutkan S2 di Fakultas Hukum Unsyiah. Kemudian Dek Pon saya ajak memperkuat advokasi Lembaga Panglima Laot Aceh, sejak setelah 26 Desember 2004. Ayahanda Teuku Haji Mansur  ikut menjadi syuhada tsunami, ya Allah tempati beliau dalam surga jannatun naimmu  ya Allah, amin.
Share this post
  • Share to Facebook
  • Share to Twitter
  • Share to Google+
  • Share to Stumble Upon
  • Share to Evernote
  • Share to Blogger
  • Share to Email
  • Share to Yahoo Messenger
  • More...

0 komentar:

Mengenang 15 Tahun Tsunami; Wajah Ayah Selalu Membayang

Oleh:   Teuku Muttaqin Mansur (Anak salah seorang korban tsunami 26 Desember 2004) Ayah saya, Teuku Haji Mansur bin Muda Gade, l...