Teuku Muttaqin Mansur
Tulisan di bawah ini merupakan tulisan saya kutip dari tulisan
Pemangku Adat Wilayah Geumpang, Pidie, Aceh yang ditempelkan
pada dinding balai berdekatan dengan makam tersebut. Saya telah menziarahi kubu itu pada tanggal 10 September
2008 lalu.
Kubu Anuek Manyak di Geumpang, Pidie, Prov. Aceh |
Adapun kuburan yang berada di sini di sebut kubu Anuek
Manyak (kuburan anak-anak), yang pada dasarnya di tempat ini dikuburkan dua (2)
orang mayat, satu diantaranya adalah seorang lelaki dewasa dan yang seorang
lagi adalah mayat anak laki-laki yang berumur 4 tahun.kedua orang tersebut
merupakan korban pembunuhan dengan tujuan perampokan, sesuai sumber yang
diperoleh kejadian ini terjadi sekitar tahun 1925.
Di daerah ini sejak zaman penjajahan Belanda sekitar tahun
1925 telah dibangun jalan setapak yang menghubungkan kecamatan Geumpang, Pidie
dengan kecamatan sungai Mas, Aceh Barat. Sejak dulu jalan ini sudah ramai
digunakan oleh pejalan kaki, baik oleh serdadu belanda untuk patrol maupun oleh
pejuang Aceh yang pada saat itu di sebut Muslimin. Dalam rangka membawa serta
mencari informasi antara Pidie dengan Meulaboh, jalan ini juga berfungsi
sebagai sarana perekonomian yang saat itu sangat menonjol perdagangan ternak
hewan (kerbau) yang berasal dari daerah pedalaman Meulaboh dipasarkan ke daerah
Pidie.
Dengan demikian terjadilah pembauran antara masyarakat
Meulaboh dengan masyarakat Pidie yang wujudnya banyak masyarakat Pidie berumah
tangga (kawin) di Meulaboh begitu juga sebaliknya yang hingga kini kedua daerah
tersebut kedua daerah tersebutbanyak masyarakat yang memiliki ikatan keturunan.
Tersebutlah kisah yaitu seorang laki-laki yang bernama Tgk.
Murhaban yang berasal dari Meulaboh (Desa Aslinya tidak di ketahui) dalam
perjalanan pulang-pergi antara Meulaboh dan Pidie sekitar tahun 1932 berumah
tangga (kawin) dengan seorang perempuan Pidie (Geumpang Keumala) yang bernama
Maisarah. Dan dari hasil perkawinan mereka dikaruniai seorang anak laki-laki
namun menjelang anak itu berumur 4 tahun, Maisarah ibunya meninggal dunia. Sejak itu tinggallah
Tgk Murhaban dengan anaknnya tersebut.
Selang beberapa bulan setelah kematian isterinya kira-kira
pertengahan tahun 1935, TGK Murhaban
memutuskan akan pulang dan menetap di Meulaboh, hal tersebut disampaikan
kepada mantan mertuanya. Sesudah mendapatkan persetujuan dari mantan mertua,
TGK Murhaban menjual semua harta bendanya yang tidak bergerak untuk dijadikan
uang, emas dan harta benda yang akan di bawa pulang TGK Murhaban ke daerah
asalnya (Meulaboh).
Atas rencana tersebut TGK Murhaban membertahukan kepada
seluruh sahabat serta teman-temannya. Salah seorang temannya mendatangi
mendatangi Tgk Murhaban untuk menanyakan
kapan rencana keberangkatannya. Hal tersebut disambut baik oleh TGK
Murhaban dan ia tidak menaruh curiga walaupun temannya tadi tidak bermaksud
baik kepadanya.
Pada hari yang ditetapkan berangkatlah TGK Murhaban beserta
anaknya ditemani temannya tadi. Setelah beberapa hari berjalan, maka pada suatu
sore rombongan TGK Murhaban tiba di Geumpang tepatnya di Gampong Bangkeh dan ia
langsung mendatangi rumah Geusyik yang pada saat itu di jabat oleh M. Daud.
Keesokan harinya memberikan bekal berupa bu kulah (nasi bungkus) ketiga orang
tersebut melanjutkan perjalanan ke Meulaboh tetapi 2 hari kemudian teman TGK
Murhaban sudah pulang ke Geumpang dan berjumpa dengan Geusyik M Daud dan
beberapa masyarakat lainnya. Orang itu menceritakan bahwa ia tidak dapat
melanjutkan perjalanannya ke Meulaboh karena badannya terserang demam, ia
khawatir sakitnya semakin parah, oleh karena itu ia memutuskan untuk pulang ke
kampung dan pada hari itu pula orang itu meninggalkan Geumpang.
Keesokan harinya, di Geumpang datanglah serombongan serdadu
Belanda yang berangkat dari Meulaboh menuju Pidie dalam tugas operasi. Setelah
tiba di Geumpang tepatnya di Gampong Bangkeh, mereka langsung menjumpai Geusyik
dan menanyakan apakah ada diantara masyarakat dalam beberapa hari ini menuju
Meulaboh, dan pimpinan serdadu tersebut menceritakan bahwa mereka melihat 2
orang mayat tergeletak di kawasan Neungoh Ukhue Kayee (pendakian akar kayu) dan
mereka menyebutnya bahwa mayat tersebut bekas penganiayaan/pembunuhan. Setelah
dikumpulkan beberapa informasi yang ada pada saat itu berat dugaan mayat
tersebut adalah TGK Murhaban dan anaknya. Pada saat itu juga atas perintah Ulee
Balang melalui Geusyik langsung diperintahkan beberapa orang masyarakat untuk
melihat dan menguburkan 2 mayat tersebut. Dua hari kemudian rombongan yang di
utus itu sudah kembali ke Geumpang dan langsung melaporkan kepada Geusyik bahwa
mayat yang baru saja mereka kebumikan benar mayat TGK Murhaban dan anaknya yang
meninggal akibat penganiayaan (leher digorok) karena sudah agak membusuk kedua
mayat tersebut dikembumikan dalam satu lobang.
Hal tersebut oleh Geusyik melaporkan ke Ulee Balang yang
untuk selanjutnya diadakan penyelidikan dan setelah terkumpul beberapa
informasi berat dugaan bahwa yang membunuh TGK Murhaban adalah temannya sendiri.
Maka atas dasar tersebut ditangkaplah teman yang menemani TGK Marhaban tempo
hari. Ternyata sesudah diperiksa secara teliti orang tersebut mengaku
sesungguhnya benar ia yang membunuh TGK Murhaban dengan tujuan perampokan harta
benda yang dibawa TGK Murhaban, maka atas pengakuan tersebut ia dijatuhi
hukuman.
Atas dasar tersebut maka banyak orang menganggap kuburan ini
adalah kuburan keramat karena merupakan kuburan anak-anak yang dianiaya.
Demikianlah sejarah singkat tentang kuburan ini yang dapat
penulis sajikan mudah-mudahan ada manfaatnya bagi kita semua. Amin yarabbal
alamin
0 komentar:
Post a Comment